Birokrat Berwajah Ganda



Penguasa adalah sang pemilik kekuasaan yang telah meraih kekuasaan dengan kemauan dan kerja keras sedangkan pengusaha adalah profesi mandiri yang lahir dari individu yang kreatif,. Keduanya bisa saja bertolak belakang tapi bisa juga saling mendukung untuk kepentingan yang sama dari kedua pihak.

Dalam konteks demokrasi, penguasa adalah pejabat publik yang memiliki wewenang dan fungsi untuk melahirkan sebuah kebijakan (legislatif) dan melaksanakan program pembangunan (eksekutif) demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, untuk tujuan yang sama pengusaha bersama dengan pemerintah membangun sebuah iklim ekonomi yang kondusif bagi siapa saja untuk bisa berusaha dan bekerja untuk menyejahterahkan diri dan lingkungannya. Moore (1966) berargumen bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi, dengan kata lain no bourgeoisie no democracy.

Tanpa bermaksud untuk menggeneralisir, sudah banyak pengusaha yang juga berprofesi sebagai pejabat publik, misalnya Silvio Berlusconi dan Thaksin Sinawatra keduanya adalah seorang pengusaha jaringan media sekaligus perdana menteri di negara masing-masing, di dalam negeri, ada Bob Hasan mantan Menteri Kehutanan, Aburizal Bakrie Menteri Koordinator Ekonomi, dan yang paling mutakhir adalah Yusuf Kalla, pengusaha sekaligus Wakil Presiden RI.

Peran pengusaha di masa lalu, hanya sebagai supporting system ataupun mitra kerja yang sejajar dengan pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan, baik yang berskala nasional maupun berskala lokal. Kalaupun ada permainan antara penguasa dan pengusaha sangat terbatas hanya diantara mereka saja. Namun belakangan terjadi perubahan yang sangat drastis pasca turunnya Soeharto oleh gelombang reformasi pada tahun 1998 dan pemilihan langsung (PEMILU) yang pertama kali tahun 2004. Nuryanti (2005) mengatakan bahwa kini kesempatan untuk masuk ke wilayah politik terbuka lebar. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, dengan daya pikat finansial yang besar, nominasi bisa dibeli agar mereka dicalonkan sebagai anggota legislatif. Pasca turunnya Presiden Soeharto, konstalasi politik mengalami perubahan yang signifikan, kekuasaan semakin tersebar dan kekuatan politiknya semakin terbatas. Akibatnya semakin sulit untuk mendapatkan proteksi dan kemudahan politik dalam berbisnis semakin sulit, semakin banyak pihak yang harus didekati dan di sogok berarti semakin banyak dana yang harus dikeluarkan.


Kapitalisme dan politik kepentingan
apa yang digambarkan diatas adalah permainan non formal antara penguasa dan pengusaha, yang mendatangkan keuntungan bagi kedua pihak. Namun pengusaha, tetaplah pengusaha, sebagian dari mereka khususnya yang melibatkan diri dalam birokrasi sebagai pejabat publik tentu berharap mendapat keuntungan lebih besar dengan pengeluaran yang sangat minimal dengan afiliasi politik yang ada. Berdasarkan berbagai penelitian secara empiris dan komparatif menunjukkan bahwa para taipan di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan wirausaha sejati. Pengusaha ini menikmati rente dari penguasa dengan memberikan imbalan finansial serta dukungan politik (Luky Djani, 2005). 

Pengusaha yang membangun bisnis tak berbatas dengan dukungan dan proteksi politik dari para penguasa, tidak lagi pernah peduli dengan iklim usaha, semakin lama cengkraman kekuasaan sang penguasa dan motif bisnis pengusaha semakin tidak memberikan ruang bagi masyarakat menengah ke bawah khususnya UKM untuk dapar berkembang sedikitpun. Demi kepentingan bisnis pihak tertentu, penguasa melakukan penggusuran untuk para pengusaha dengan dalih pembangunan keindahan tata kota, fasilitas publik berupa mall, sarana perkantoran, jalanan, yang nyata-nyata merupakan lingkaran rente ekonomi para pengusaha nakal sekaligus sebagai sumber pemasukan baru bagi pejabat dengan dua pintu, yang legal berupa pajak dan yang tidak legal berupa amplop ucapan terima kasih.

bilamana karakter pragmatis yang melekat pada pengusaha bersinergi dengan iklim politik yang pragmatis, dikhawatirkan akan semakin menjauhkan elite dengan masyarakatnya. Akibatnya, demokrasi bagi rakyat hanya sekadar seremoni politik yang tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Pengusaha-politik jelas tidak mengenal rezim, sipil ataupun militer, bahkan walaupun penguasa berganti mereka tetap saja menjadi pemuja para penguasa demi untuk mewujudkan ambisi bisnisnya. Harris (2003) mengatakan bahwa motivasi utama taipan (pengusaha) berpolitik umumnya guna mempertahankan kepentingan bisnisnya. Tidak ada keikhlasan apalagi pengabdian, mereka hanya berpolitik untuk kepentingan pribadi. Penguasa yang menjadi mitra politik bisnis bukanlah hubungan yang sejati, melainkan untuk sebuah kepentingan yang kebetulan sama.

Logika Bisnis Birokrat              
Dengan kemampuan finansial yang besar, para pengusaha-politik mengkatrol kekuasaan dan popularitasnya. Mereka bisa membeli apapun, membungkan siapa saja, bahkan menjual aset bangsa sekalipun mereka akan lakukan demi sebuah kepentingan bisnis dan kesejahteraan pribadi. Monopoli kekuasaan dan kebijakan publik oleh pengusaha-birokrat akan semakin mematikan keberadaan kelompok usaha kecil menengah.

Pusat perbelanjaan semacam Mall dan Super Mall akan mematikan keberadaan pasar-pasar tradisional yang sudah pasti kalah dalam berbagai aspek. Kenyamanan, keramahan, keamanan, dan harga yang bersaing semuanya didapatkan oleh konsumen dalam satu paket kepuasan didalam gedung-gedung Mall yang megah. Sebaliknya dipasar tradisional, pelanggan terus dihantui rasa takut akan kemunculan pelaku kriminal, bau yang busuk, harga yang tinggi, tidak nyaman dan capek ketika harus mengelilingi pasar.

Pejabat-pebisnis, akan membangun negara dengan patron logika bisnis untung – rugi. Apabila pembangunan fasilitas tertentu dianggap mendatangkan keuntungan dan pemasukan finansial yang besar dari dua pintu tadi, maka itulah yang akan menjadi prioritas dan yakinlah tidak memerlukan waktu yang lama. Namun apabila pembangunan itu hanya memberikan kemudahan bagi masyarakat tapi tidak memberikan pemasukan signifikan bagi penguasa maka pembangunan tersebut tidak akan terealisasi. Ketidakmampuan atau lebih tepatnya ketidakmauan untuk memisahkan antara kepentingan privat dan kepentingan publik oleh pejabat akan semakin memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini didukung oleh lemahnya aturan main atau sistem birokrasi dan tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia, dampak negatif kepribadian ganda penguasa-pengusaha mudah dihindari.

Oligarki Ekonomi
Politik kepentingan para pejabat-pebisnis adalah untuk meraih akses seluas-luasnya terhadap sumber daya ekonomi, kebijakan publik, lisensi bisnis, kredit tanpa batas, bahkan monopoli usaha, dan proyek pemerintah adalah incaran utama untuk semakin memperbesar hegemoni kapitalisme global. Kepentingan-kepentingan ini tidak hanya merusak pemerintahan dan iklim usaha tapi lebih jauh lagi merusak tatanan kebangsaan yang semakin rapuh akibat lemahnya kepemimpinan.

Maka harus ada code of conduct soal pemisahan tegas antara pengusaha dan politik, antara jabatan publik dan penguasa ekonomi. Untuk menciptakan keadilan dan pemerataan oligarki ekonomi harus dicegah. Kombinasi penguasa-pengusaha yang dalam bahasa Imam Cahyono (2006) sebagai Corporatocracy akan memproduksi pelaku politik yang haus kekuasaan, dan oleh sebab itu akan menyedot kekayaan negara guna membangun imperium bisnis bagi kelompoknya. Skenario akan semakin buruk kalau akumulasi kapital juga melibatkan sumber yang berasal proses pencucian uang, perdagangan narkoba dan sejenisnya, elite politik dan penguasa pasti akan dikendalikan oleh mafia atau kekuatan yang menjadi sumber atau asal-usul kapital tersebut. Selain itu menghindarkan konflik kepentingan antara dunia usaha dan dunia pengabdian sebagai pejabat publik (penguasa) sangat sulit. Politik kepentingan penguasa – pengusaha telah terbukti manjur menghadiahkan rakyat bangsa ini bencana banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah akibat illegal logging yang tidak terselesaikan, lumpur panas lapindo brantas yang telah merendam dua kelurahan dan diprediksi oleh para ilmuwan tidak akan berhenti dalam waktu dekat, kecelakaan kapal penumpang KM Senopati dan kecelakaan pesawat Adam Air –terlepas dari faktor cuaca dan faktor non teknis lainnya – juga adalah akibat perselingkuhan dan politik kepentingan penguasa dan pengusaha atau lebih parah lagi pengusaha yang juga sekaligus sebagai penguasa.   

Dalam konteks kehidupan politik bangsa Indonesia hari ini terlalu berharap tampilnya pengusaha menjadi penguasa yang mempunyai kemampuan dan daya tahan terhadap godaan untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan hanya mencurahkan perhatian untuk melayani publik sangat sulit diharapkan. Fungsi ganda pengusaha merangkap sebagai penguasa tanpa disertai dengan beberapa persyaratan mutlak justru dikhawatirkan akan menjadikan demokrasi hanya sekadar alat pemilik modal untuk berkuasa dan menumpuk kapital yang lebih besar lagi. 

yusran

Comments