Dehumanisasi Petani



Bangsa Indonesia, adalah bangsa yang termanjakan oleh kekayaan alam, tetapi apa yang diberikan oleh bangsa ini untuk alam ? tidak ada. Selama kurang lebih 91 tahun sejak kemerdekaannya, bangsa ini belum berterima kasih kepada alam, tetapi alam terus dieksploitasi secara anarkis tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam itu sendiri, akibatnya – dipicu juga oleh berbagai fenomena alam lainnya – berbagai bencana menerpa bangsa ini yang mungkin bukan lagi peringatan tetapi menjadi hukuman terhadap pelanggaran bangsa selama ini.

Tanah subur yang memberikan hasil berlimpah ruah, paling tidak terdapat sekitar 450 spesies tanaman buah-buahan dan lebih dari 250 spesies sayur-sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. Tersedia pula lebih dari 70 spesies tanaman bumbu dan rempah-rempah, 40 spesies tanaman bahan minuman, serta 940 spesies tanaman bahan obat tradisional. namun bangsa ini belum juga bersyukur, pejabat pemerintah sibuk dengan perebutan kekuasaan dan uang akibatnya hutan tandus akibat illegal logging semakin  luas, data Forest Watch Indonesia (2001) menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta hektar akibat illegal logging. Sektor pertanian diabaikan, data terakhir perkembangan luas panen dan produktivitas padi di Indonesia terus menurun. Pada periode 2000-2005, luas panen padi hanya 0,9 persen dengan tingkat produktivitas satu persen. Periode 1990-2000, perkembangan luas panen padi 3,1 persen dengan produktivitas 1,1 persen. Pada 1980-1990, perkembangan luas panen mencapai 9,6 persen dengan produktivitas 2,4 persen. Ini belum termasuk kerusakan alam akibat sektor pertambangan yang bukan hanya tidak ramah terhadap lingkungan tetapi juga tidak ramah terhadap masyarakat sekitar di lokasi pertambangan.

Permasalahan sektor pertanian bangsa ini sesungguhnya masih sama, masih sekitar kelangkaan pupuk atau tingginya harga pupuk, rendahnya produktivitas, rusaknya saluran irigasi, tingginya biaya produksi, harga gabah yang rendah dan jeratan ekonomi para tengkulak. Inilah potret pertanian bangsa kita yang hanya baik dalam pidato dan laporan para pejabat dihadapan publik tapi pada tingkat implementasi jauh panggang dari api. Lalu dimana posisi petani dalam visi pembangunan pertanian oleh pemerintah ?. Petani dalam konteks agribisnis hanya menjadi mesin-mesin produksi belaka, tidak satupun kebijakan pemerintah yang pro terhadap kesejahteraan petani, sekali lagi janji-janji kesejahteraan itu hanya ada dalam pidato dan konsep diatas meja para penguasa/pejabat yang semakin tidak peduli dengan kesejahteraan petani. Petani hanya menjadi korban dari sistem yang telah dibangun pemerintah sejak orde lama hingga orde reformasi. Petani tidak pernah diposisikan sebagai partner pemerintah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan mereka, petani harus menerima bahkan tunduk dengan kebijakan pertanian yang tidak memihak.

Petani adalah orang yang memiliki mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. dalam kesehariannya, petani biasanya hidup dalam dua dunia. Pada satu sisi masyarakat petani pada umumnya tinggal didaerah-daerah pedesaan, terpisah dari dunia luar. Mereka sangat serius didalam mengelola pertanian di desanya dan  cenderung memiliki orientasi pandangan ke dalam. Namun, disisi lain, masyarakat petani sangat tergantung dari dunia luar. Mereka dipengaruhi oleh ekonomi pasar dan menjadi subordinasi, objek politik pihak penguasa/pemerintah dan pihak luar, masyarakat luas (Cancian, 1989). Maka tidak terelakkan lagi petani-petani desa di negara kita telah terbawa dalam arus mekanisme sistem ekonomi dunia (world system) yang didominasi oleh sistem kapitalis.

Pada umunya sebagian besar masyarakat petani di Indonesia hidup miskin. Dari 49,9 juta penduduk Indonesia pada tahun 2002, sekitar 54% diantaranya terdiri dari masyarakat petani (BPS, 2002). Salah satu faktor yang paling dominan menyebabkan kemiskinan pada masyarakat petani di tanah air adalah kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang tidak memihak kepada petani melainkan menyebabkan terjadinya dehumanisasi terhadap petani. Kebijakan pemerintah sejak zaman prakolonial hingga orde baru cenderung menempatkan petani dalam posisi yang sulit untuk bangkit dari ketertindasannya. Dimulai dari ketimpangan pengusaan lahan, sistem tanam paksa, program revolusi hijau, usaha tani yang lebih menekankan pada asupan modern dari luar, harga gabah dan beras yang rendah bagi petani, dan kebijakan impor beras menimbulkan berbagai kerugian ekologi dan sosial ekonomi petani yang sangat parah. Pada akhirnya tujuan pembangunan pertanian untuk mengurangi pengangguran dan menghapus kemiskinan menjadi ketimpangan pembagian pendapatan dan tidak tercapainya konversi lingkungan (Wahyono 1999).           

Demi untuk melanggengakan kekuasaan, petani ditempatkan sebagai kelompok yang tertindas dalam struktur sosial yang dibangun sejak lama, mereka tidak diberi peluang, kesempatan apalagi fasilitas untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga terus menerus tertindas dan tidak mampu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, akibat kebodohan struktur yang dialaminya petani juga menjadi kaum kelas bawah dari sisi kesejahteraan bidang ekonomi.

Visi pembangunan pertanian
terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani melalui pembangunan agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralisasi”. Visi pembangunan pertanian yang telah dicanangkan pemerintah dalam program revitalisasi pembangunan pertanian merupakan satu dari sekian banyak janji SBY yang belum terwujud, atau memang tidak ada keinginan untuk diwujudkan. Menyimak visi pembangunan pertanian diatas, akan terbayangkan sebuah kegemilangan sektor pertanian, namun sekali lagi idealitas itu hanya diatas meja kerja pejabat yang tidak tidak peduli dengan masa depan pertanian dan petani yang telah menghidup rakyat bangsa ini, bahkan sebelum bangsa ini lahir.

Visi pembangunan pertanian dengan orientasi agribisnis merupakan bualan pemerintah semata, kewajiban pemerintah untuk memberikan dukungan berupa modal dan fasilitas kepada petani dan UKM yang bermitra dengan petani tidak pernah terealisasi melainkan pemerintah hanya memberikan pinjaman modal tidak terbatas kepada para pengusaha kakap yang telah terbukti memberikan kostribusi merusak nadi perekonomian bangsa ini. Pun konsep desentralisasi yang ditawarkan pemerintah pusat dalam pengelolaan sektor pertanian juga tidak jelas, disatu sisi diberikan kewenangan disi lain pemerintah pusat juga tetap melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan yang seharusnya lahir didaerah. Hal ini dapat kita lihat pada kebijakan impor beras yang tidak mengacu kepada kondisi stok beras ditingkat lokal (daerah), harusnya pemerintah daerah diberikan peluang untuk menentukan kebijakan impor beras yang mengacu kepada ketersediaan stok beras masing-masing sehingga mampu menekan kemungkinan terjadinya salah sasaran dalam praktek impor beras tersebut.

Visi pembangunan pertanian dengan orientasi agribisnis merupakan bualan pemerintah semata, kewajiban pemerintah untuk memberikan dukungan berupa modal dan fasilitas kepada petani dan UKM yang bermitra dengan petani tidak pernah terealisasi melainkan pemerintah hanya memberikan pinjaman modal tidak terbatas kepada para pengusaha kakap yang telah terbukti memberikan kostribusi merusak nadi perekonomian bangsa ini. Pun konsep desentralisasi yang ditawarkan pemerintah pusat dalam pengelolaan sektor pertanian juga tidak jelas, disatu sisi diberikan kewenangan disi lain pemerintah pusat juga tetap melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan yang seharusnya lahir didaerah. Hal ini dapat kita lihat pada kebijakan impor beras yang tidak mengacu kepada kondisi stok beras ditingkat lokal (daerah), harusnya pemerintah daerah diberikan peluang untuk menentukan kebijakan impor beras yang mengacu kepada ketersediaan stok beras masing-masing sehingga mampu menekan kemungkinan terjadinya salah sasaran dalam praktek impor beras tersebut.

Sudah saatnya pemerintah menyadari, bahwa kebijakan yang tidak berpihak terhadap masa depan pertanian dan kesejahteraan petani sekaligus akan memberikan dampak negatif terhadap bangsa yang akan terus terjebak dalam sistem kebijakan kapitalisme global yang menyengsarakan bangsa dimasa depan. Dalam upaya untuk meningkatkan gerakan ketahanan pangan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani, maka perlu ditetapkan langkah-langkah berikut ;

pertama, program pemberdayaan petani pada aspek agronomis dan agribisnis harus terus ditingkatkan demi mewujudkan manusia-manusia petani yang cerdas yang bukan hanya mengetahui proses persiapan lahan sampai panen tetapi juga mampu melakukan tindakan kreatif untuk melakukan inisiatif dalam menetapkan langkah ansipatif terhadap berbagai ancaman khususnya gejala alam yang kadang tak bersahabat sekaligus melakukan proses pemasaran yang lebih memberikan manfaat.

kedua, penetapan kebijakan yang berkaitan dengan pertanian secara praktis harus dikembalikan ke daerah (desentralisasi) agar lebih menyentuh harapan petani dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan perberasan (penetapan harga gabah, harga beras, harga pupuk dan impor beras). Selain itu dengan konsep desentralisasi ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, pendayagunaan sumberdaya lokal, pemerintah daerah sebagai pelaku utama dan menggerakkan dan pada akhirnya meningkatkan volume nilai tambah bagi masyarakat lokal.  

ketiga, lembaga penelitian bidang pertanian baik yang berada dibawah pengawasan pemerintah ataupun yang independen harus terus dirangsang dan didukung untuk meningkatkan inovasi bidang pertanian secara nasional, baik benih, bibit, pestisida, pupuk, pengolahan lahan dan sebagainya. Untuk meningkatkan kinerja penelitian ini sangat dibutuhkan dukungan dana dan fasilitas dari pemerintah, berdasarkan data terakhir  pengeluaran untuk penelitian pertanian di Indonesia turun secara drastis sejak awal tahun 1990an dibandingkan dengan negara tetangga. Pengeluaran riil untuk penelitian pertanian umum di tahun 2001 tidak lebih besar dari tahun 1995. Saat ini, kedudukan tingkat pengeluaran untuk penelitian pertanian tersebut, dihitung dalam persentasi dari PDB dan total pengeluaran negara untuk pertanian, termasuk paling rendah di antara negara asia lainnya. Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Bangladesh, dan jauh dibawah tingkat rekomendasi 1%); dan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menyediakan lebih dari 10% dari total pengeluaran negara untuk sektor pertanian untuk mendukung penelitian pertanian, maka porsi di Indonesia kurang dari 4%.

keempat pemerintah daerah harus melibatkan petani dalam proses legislasi kebijakan yang berkaitan dengan sektor pertanian. hal ini sangat penting didalam rangka mempertemukan paradigma, persepsi, harapan serta kebutuhan keduabelah pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan atau merasa tidak diuntungkan dengan kebijakan yang telah dibuat. Bagiamanapun, kepedulian terhadap petani merupakan wujud komitmen terhadap masa depan sektor pertanian karena petani sangat identik dengan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan atas sistem.  

kelima, pemerintah harus secara nyata memberikan dukungan dan fasilitas kepada UKM yang menjadi mitra petani untuk terus berkembang sebagai upaya untuk meningkatkan sektor pertanian hulu maupun hilir. Kemitraan UKM dan pemerintah bukan saja dalam bentuk modal tetapi juga fasilitas berupa infrastruktur yang diperlukan untuk mengembangkan usaha tersebut. 

Keenam, Departemen Pertanian berperanan penting dalam kerjasama dengan institusi terkait lainnya dalam menghadapi masalah langkanya sumber air yang mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil pertanian yang teririgasi. Tantangan dalam menghadapi langkanya sumber air diperbesar dengan terus bertambahnya biaya dalam penyediaan sumber air yang baru, pencemaran tanah di daerah irigasi, penipisan persediaan air tanah, polusi air dan penurunan mutu ekosistem yang berhubungan dengan air, serta pemborosan penggunaan air di tempat suplai air yang telah selesai dibangun.

Ketujuh, pelaksanaan penyuluhan pertanian oleh pemerintah mengingat penyuluhan pertanian yang berlangsung selama ini tidak mengakomodasi kebutuhan petani, dan tidak dapat mengantisipasi keberagaman masyarakat petani Indonesia. Untuk itu metode penyuluhan partisipatif patut untuk dikembangkan karena penyuluhan pertanian partisipatif ini adalah sebuah proses yang berpusat pada manusia. Oleh karena itu, pelembagaan di sini berfokus pada peningkatan kapasitas pihak-pihak yang terlibat, baik itu organisasinya maupun manusianya (penyuluh dan petani).  Penyuluhan pertanian partisipatif memfasilitasi proses belajar masyarakat petani untuk memberdayakan mereka agar mampu mengambil keputusan yang baik untuk meningkatkan taraf hidup mereka dengan cara yang lebih berkelanjutan". Sedangkan pelembagaannya mengacu pada "internalisasi pelayanan penyuluhan yang lebih partisipatif melalui penyesuaian sistem manajemen pelayanan dengan cara baru".

Sektor pertanian merupakan tumpuan dan harapan untuk mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan secara nasional, tetapi jawaban akan harapan tersebut sulit untuk diwujudkan apabila komitmen pemerintah untuk meningkatkan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan petani dan lembaga penelitian yang secara langsung akan memberikan dampak positif dimasa depan. Peningkatan dukungan dan fasilitas ini tidak saja meningkatkan hasil pertanian yang sesuai target tetapi lebih dari itu membawa perubahan bagi paradigma lama yang menempatkan petani hanya sebagai objek ataupun mesin-mesin produksi belaka, tetapi juga mendukung paradigma baru memanusiakan manusia petani sekaligus menyejahterakannya.

Semoga harapan yang telah dijanjikan oleh presiden SBY, dapat diwujudkan dengan melibatkan seluruh elemen yang berkaitan langsung dengan sektor pertanian, mulai dari petani, UKM, akademisi, media massa dan pemerintah daerah sebagai upaya membangun kekuatan sektor pertanian dimasa yang akan datang sekaligus mengentaskan pengangguran dan kemiskinan.   

yusran

Comments