Gerakan mahasiswa menurut Anthony Giddens memenuhi karakteristik dasar sebuah gerakan sosial, yakni dari segi kolektifitasnya, kesengajaan pengorganisasiaannya, kesinambungan tujuan dan kepentingan bersama yang dilakukan diluar institusi yang ada dan bertujuan jangka panjang. Gerakan mahasiswa semacam ini, tentu saja memberi harapan untuk melahirkan perubahan menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama yang menjadi cita ideal founding father bangsa Indonesia dimasa lalu. Sebagai sebuh gerakan sosial, gerakan mahasiswa mencapai puncaknya ketika berhasil menurunkan Soeharto dari jabatan Presiden RI tanggal 21 Mei 1998. namun setelah reformasi bergulir tidak lagi nampak gelombang gerakan mahasiswa secara besar-besaran, hal ini mengindikasikan bahwa gerakan mahasiswa kekinian sedang mati suri, baik gerakan yang sifatnya aksi-pragmatis dan pengembangan khazanah intelektual atau intelectual exercise. Hal tersebut semakin diperparah oleh lemahnya daya kritis mahasiswa dalam menyikapi berbagai fenomena kebangsaan akhir-akhir ini. Sikap kritis terhadap evaluasi kinerja pemerintahan, baik itu pemberantasan korupsi, ilegang logging, kemiskinan, pengangguran sampai kepada wacana perubahan yang lebih signifikan terasa sepi. Yang terjadi hanyalah responsibilitas parsial oleh gerakan mahasiswa yang cenderung reaktif dan tidak mengakar terhadap berbagai persoalan kebangsaan.
Walau begitu, gerakan mahasiswa sebagai gerakan social sekaligus sebagai kekuatan politik ternyata masih memiliki legitimasi moral yang kuat, sayangnya, meskipun ekspektasi dan cita-cita ideal akan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial masih diletakkan ke pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian menurun dan tidak dinamis dalam menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa saat ini. Melemahnya gerakan mahasiswa dilatari oleh berbagai hal, yang paling menonjol adalah lemahnya pengembangan tradisi intelektual dikalangan mahasiswa.
Kampus mati
Kampus sebagai lingkungan kehidupan yang matang, telah melahirkan komunitas mahasiswa sebagai masyarakat terdidik, cerdas, kreatif dan kritis. Namun akhir-akhir ini banyak dipertanyakan eksistensinya ditengah-tengah masyakarat. Maka wajar saja jika muncul sebuah pertanyaan besar tentang rendahnya kultur intelektual di kampus yang seharusnya menjadi rumah intelektual, dalam hal pengembangan, penajaman visi sampai kepada rekayasa perubahan yang menjadi muara aktivitas intelektual. Masihkah tepat atribut intelektual disematkan kepada para aktivis mahasiswa yang bergeliat dikampus, yang belakangan hanya mampu beradu otot dengan sesamanya untuk menyelesaikan masalah, bukannya membuka ruang dialog yang lebih sehat dengan menempatkan nalar intelektual dan nalar kemunusiaan sebagai senjata yang ampuh.
Pertikaian atau lebih tepatnya tawuran tentu saja sangat tidak sesuai dengan nafas intelektual yang seharusnya berpijak pada pijakan rasional dalam bertindak. Sigmund Freud seorang ahli psikologi menjelaskan, hal itu bisa terjadi karena pada dasarnya manusia memiliki dua naluri insting. Yaitu, insting kematian (tanatos) dan insting kehidupan atau cinta (eros). Insting tanatos mengarahkan manusia untuk cenderung kepada upaya untuk melakukan kekerasan bahkan saling meniadakan sedangkan insting kehidupan mengarahkan manusia untuk cenderung kepada upaya untuk berdamai dengan sesama dan saling menyayangi. Dalam konteks tawuran antar mahasiswa tentu saja yang lebih menonjol adalah insting tanatos lebih menguasai mental mahasiswa yang melakukan tawuran tersebut. Jurgen Habermas menilai bahwa masyarakat komunikatif sebagai masyarakat ideal yang dicita-citakan bukanlah masyarakat yang melakukan kritik dan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, tetapi lewat dialog dan argumentasi. Nah, manusia-manusia kampus (baca : mahasiswa) sendiri hendaknya mampu memberikan contoh yang bisa diteladani oleh masyarakat luas. Tentunya dengan tidak mengedepankan sikap anarkis dalam setiap menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Sebab, sikap anarkis atau kekerasan merupakan aib di mata kaum intelektual. Kekerasan bukan solusi, tetapi ia merupakan bagian integral dari masalah itu sendiri. Kekerasan hanya akan memunculkan masalah baru yang lebih kompleks.
Sejak NKK/BKK diberlakukan terhadap kampus untuk meredam pengaruh politik dari ormas-ormas yang ada atau pengaruh dari elite politik yang anti atau vokal terhadap kebijakan pemerintah, mahasiswa disibukkan oleh urusan kuliah. Sistem SKS - yang belakangan semakin diperparah dengan sistem belanja dan semester pendek - yang telah diberlakukan telah mendorong mahasiswa untuk mencurahkan segenap waktu dan perhatiannya untuk urusan kuliah semata. Skenario ini semakin matang dengan mempersulit mahasiswa yang aktif organisasi untuk menyelesaikan kuliahnya sehingga organisasi maupun kegiatan ekstrakurikuler ditinggalkan oleh mahasiswa dan akhirnya melahirkan mahasiswa yang tunduk dan takut pada pemerintah yang tirani, individualis, apatis terhadap berbagai realitas sosial disekitarnya.
Penetrasi globalisasi didunia kampus juga semakin dalam, hal ini nampak dari iklim kampus yang faktual yang lebih menonjolkan kampus laiknya rumah mode perancis yang menampilkan model-model dengan busana terbaru atau laiknya panggung sinetron yang mempertontonkan perilaku hidup serba hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan kosumtif. Hal ini tentu saja mengancam masa depan generasi muda yang menjadi tumpuan bangsa kita kedepan, sebuah ungkapan popular yang mengatakan masa depan suatu bangsa 50 sampai 100 tahun kedepan dapat dilihat dengan kondisi generasi mudanya. Bila kita berkaca pada ungkapan yang bijak tersebut maka tentu saja kesuraman masa depan bangsa berada tepat didepan mata kita.
Dampak globalisasi ini tentu saja mencoreng sekaligus mengancam masa depan wajah intelektual di bangsa ini. Pertikaian atau tawuran antar mahasiswa hanyalah salah satu dari sekian banyak praktek-praktek kotor yang menodai nilai-nilai intelektual, mulai dari kasus skripsi pesanan, pungutan liar oleh birokrasi kampus, mahasiswa yang menjadikan kampus laiknya panggung dan rumah mode Perancis, pembonsaian gerakan mahasiswa oleh birokrasi kampus, dan lain-lain. Kondisi ini mengisyaratkan sebuah ancaman besar bagi masa depan bangsa Indonesia, bagaimanapun juga kaum intelektual menjadi tumpuan untuk mengantar bangsa Indonesia keluar dari kemelut dan krisis panjang selama ini. Ancaman ini tentu bisa jadi merupakan kegagalan intelektual di Indonesia, tetapi bisa juga merupakan rekayasa global untuk mematikan gerakan mahasiswa yang lantang melawan penindasan. Terkhusus di Indonesia, gerakan mahasiswa merupakan satu-satunya gerakan sosial yang mampu menggulingkan penguasa dan menghadirkan perubahan dalam kehidupan bangsa.
Kaum intelektual
Walupun Kaum intelektual atau intelektual menurut Sahibul Hikayat adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenaran dengan penalarannya. Menurut hemat penulis intelektual adalah orang atau kaum yang menggunakan akal pikirannya, pengetahuannya, untuk membaca, mengkaji, dan mengkritisi, sekaligus dengan kesadarannya ia terlibat dalam proses merekonstruksi realitas sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual, yang dalam bahasa kaum Gramcian adalah intelektual organik. Ketika kita menempatkan intelektual hanya sebatas pengetahuan semata, maka yang ada adalah kekeliruan yang akan menjerumuskan seseorang untuk berpihak kepada apa yang kuat dan bukan kepada apa yang benar atau disebut oleh Boni Hargens sebagai intelektual tukang yang setiap analisisnya ditentukan kepentingan kekuasaan dan ditakar dengan uang dengan kata lain mereka bekerja untuk kepentingan politik-kekuasaan. Intelektual yang benar-benar intelektual sejati adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahun, kebenaran, kebaikan bersama (bonum commune) atas landasan ilmu dan moralitas. Senada dengan itu menurut Sarumpaet (2005) keberadaan dan perananan kaum intelektual menjadi penting lantaran langkahnya punya dasar berpijak yang di dalamnya menyimpan gagasan untuk perbaikan menghadapi masa depan. Maka, di mana pun di dunia ini, kaum intelektual kerap bertindak sebagai pioner, perintis, dan pemberi pencerahan atas kehidupan manusia.”
Kultur intelektual
Intelektualitas adalah perjuangan untuk keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, intelektual tidak bekerja untuk kekuasaan apalagi menghamba kepada kekuasaan yang profan, tiranik dan menindas. Intelektual kini, sedang menghadapi tantangan yang berat, banyak tokoh-tokoh intelektual yang terjerat hukum karena berbagai bentuk pelanggaran, mulai dari tingkat lokal sampai di tingkat nasional. Bahkan belakangan sudah marak terjadi peselingkuhan antara intelektual dan kekuasaan (pemerintah), akibat dari terjadinya frustasi intelektual, dimana pandangan, argumen dan pendapat tokoh intelektual tergantung dari pada pesanan penguasa sehingga intelektual tidak lagi murni untuk perjuangan nilai-nilai kebenaran dan keadilan tetapi menjadi penjilat kepada penguasa.
Lalu, bagaimana dengan intelektual kampus, apakah masuk dalam kategori intelektual organik, intelektual tukang ataukah intelektual blanko (kosong) ?. disinilah pentingnya membangun kembali kultur intelektual dan exercise intelektual ditengah-tengah dunia kampus saat ini. Kultur intelektual adalah budaya intelektual yang berikhtiar untuk menjaga dan mempertahankan serta melestarikan nilai-nilai pengetahuan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi sesama yang menempatkan rasionalitas sebagai alat analisisnya dan moralitas – agama maupun budaya – sebagai nilai yang membingkai sekaligus menggerakkan. Kultur intelektual maupun exercise intelektual atau pengayaan intelektual ditandai dengan budaya, kebiasaan, atau aktivitas-aktivitas yang berorientasi pada peningkatan wawasan, penajaman daya kritis, pengkajian realitas sosial didalam dan diluar kampus, perumusan ide dan konsep gerakan perubahan sosial untuk kesejahteraan dan kemakmuran serta kepentingan yang lebih besar yakni umat dan bangsa. Kultur intelektual, merupakan budaya untuk mengintegrasikan nilai pengetahuan dan moralitas dalam segenap aktivitas dan iklim kampus secara umum yang dapat tergambarkan dalam pribadi mahasiswa yang cerdas, kritis, kreatif dan inovatif dalam melahirkan solusi-solusi terhadap realitas yang melingkupi diri dan lingkungannya.
Masa depan wajah intelektual kampus masih dapat kita selamatkan bila seluruh stake holder yang ada terlibat secara aktif untuk menumbuhkan dan membudayakan nilai intelektual dalam aktivitas akademik dan iklim kampus secara umum dan secara individual juga harus dihidupkan dalam diri para mahasiswa. Dengan sendirinya kultur intelektuallah yang akan menjawab masa depan gerakan mahasiswa dan wajah intelektual kampus, apakah akan terus menjadi gerakan yang reaktif ataukah menjadi gerakan sosial yang berbasis nilai moral dan pengetahuan untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa mandiri yang disegani oleh negara lain. Kuncinya adalah apabila intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang tepat dimana gerakan mahasiswa hadir sebagai gerakan yang membebaskan rakyat dari ketertindasan dan hegemoni kekuasaan absolut. Lebih dari itu yang mestinya dilakukan oleh kalangan intelektual adalah membangun suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya historical bloc (kekuatan perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru (new social movement) bagi tiap-tiap warganegara Indonesia, khususnya dalam kampus sebaga basis gerakan intelektual.
Masa depan wajah intelektual kampus masih dapat kita selamatkan bila seluruh stake holder yang ada terlibat secara aktif untuk menumbuhkan dan membudayakan nilai intelektual dalam aktivitas akademik dan iklim kampus secara umum dan secara individual juga harus dihidupkan dalam diri para mahasiswa. Dengan sendirinya kultur intelektuallah yang akan menjawab masa depan gerakan mahasiswa dan wajah intelektual kampus, apakah akan terus menjadi gerakan yang reaktif ataukah menjadi gerakan sosial yang berbasis nilai moral dan pengetahuan untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa mandiri yang disegani oleh negara lain. Kuncinya adalah apabila intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang tepat dimana gerakan mahasiswa hadir sebagai gerakan yang membebaskan rakyat dari ketertindasan dan hegemoni kekuasaan absolut. Lebih dari itu yang mestinya dilakukan oleh kalangan intelektual adalah membangun suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya historical bloc (kekuatan perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru (new social movement) bagi tiap-tiap warganegara Indonesia, khususnya dalam kampus sebaga basis gerakan intelektual.
Comments
Post a Comment