Wajah Buram Televisi Kita



Televisi sebagai media
Media massa memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan pola pikir dan cara pandang masyarakat. Pola pikir membentuk seseorang untuk bisa menjadi baik atau buruk, pembentukan pola pikir ini banyak dipengaruhi oleh faktor luar yang biasanya diserap lewat interaksi dengan keluarga,  pergaulan, juga media massa. Secara umum media massa berfungsi untuk memberikan informasi, menyajikan fakta, dan menghibur masyarakat. 

Diantara sekian media massa yang ada, media elektronik berupa radio dan televisi merupakan media massa yang memiliki daya jangkau paling jauh. Di kalangan ahli media massa, radio dianggap sebagai media yang paling populer dan demokratis, dan dapat menjangkau sekitar 90% daerah dan populasi. Namun dari segi pengaruh, televisi adalah media massa yang paling berpengaruh terhadap, tabiat, dinamika dan pola pikir masyarakat. Hal inilah yang sedang menggajala dalam keseharian masyarakat dunia termasuk didalamnya masyarakat Indonesia, dimana tindakan, sikap dan orientasi hidup seseorang sangat banyak dipengaruhi bahkan dibentuk oleh media massa khususnya televisi. Peran pendidikan formal dalam hal ini institusi pendidikan dan pendidikan non formal khususnya keluarga dan lingkungan sudah semakin kecil akibat pengaruh luar biasa dari televisi. Penyebaran informasi dan pengiriman pesan di dunia ini sudah semakin mudah. Salah satunya adalah dengan adanya televisi. Tak dapat dipungkiri, televisi menjadi gudang informasi dan proses pembelajaran serta pembentuk pola pikir bagi masyarakat, dengan adanya proses penanaman nilai yang kontinu.Walaupun begitu, tayangan acara di televisi baik berupa film, berita atau video musik membawa pesan tertentu yang härus kita waspadai.

Televisi - yang pertama kali ditemukan pada tahun 1927 oleh Farnsworth - berperan untuk memberikan informasi, menyampaikan opini sekaligus membentuk opini masyarakat yang menontonnya. Televisi lewat berbagai jenis program acaranya  telah membentuk image atau citra baru feminisme perempuan, maskulinnya lelaki, remaja, anak sekolahan, guru, cara berbusana, orang tua, usatdz, gaya hidup, bahkan citra (tepatnya stigma) agama-agama khususnya Islam. Semuanya digambarkan menjadi lebih modern dan lebih maju dengan tolak ukur perkembangan yang terjadi diluar sana (khususnya eropa dan amerika) padahal apa yang sedang terjadi disana sama sekali tidak relevan dan tidak bersesuaian dengan budaya bangsa Indonesia, bahkan yang lebih parahnya karena proses asimilasi atau lebih tepatnya mencontoh atau taqlid itu dilakukan dengan parsial, apa yang sesungguhnya absurd dan bebas nilai, hal tersebut yang kita reduksi sebagai ukuran kemajuan sedangkan aspek lain yang menjadi keunggulan mereka seperti kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, pendidikan, antariksa, tata kota, transportasi, pengelolaan SDA, kedokteran, budaya disiplin, dan lain sebagainya tidak kita serap sebagai sesuatu yang bisa memberikan dampak dan perubahan yang positif.

Dampak kehadiran televisi
sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa semakin sering seorang
anak mengkonsumsi televisi, semakin sama nilai yang dianutnya dengan tayangan-tayangan dari televisi. orang - orang kususnya remaja yang sering menonton tayangan kekerasan mempunyai perilaku yang lebih agresif. Sedangkan yang sering menonton tayangan seksisme menjadi sangat membedakan peran dan perilaku antara perempuan dan laki-laki. Konsep perempuan ideal sampai perempuan sangar pun dibentuk oleh televisi. salah satunya dengan mengatakan perempuan yang cantik adalah yang mempunyai tubuh langsing, kulit putih, rambut panjang dan lurus.

Pengaruh televisi kini telah menimbulkan kegelisahan yang sangat mendalam oleh sebagian masyarakat yang masih kritis dan peduli terhadap masa depan generasi muda yang kian terancam dengan kehadiran media massa yang satu ini. Gugatan terhadap televisi semakin marak belakangan ini akibat berbagai kasus yang menyebabkan terjadinya dekadensi moral ditengah-tengah masyarakat. kasus yang paling aktual adalah tayangan pertandingan gulat bebas ala Amerika yang bintang-bintangnya banyak diidolakan oleh anak-anak Indonesia akhirnya dihentikan penayangannya karena terbukti menjadi pemicu meningkatnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak di beberapa daerah bahkan sudah meminta korban jiwa.

Menonton televisi bukan lagi sekedar kebiasaan ataupun kebutuhan akan informasi tapi telah menjelma menjadi suatu budaya populer yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Diantara sekian banyak tayangan televisi yang digemari oleh masyarakat, sinetron merupakan tayangan paling diminati dan digandrungi oleh para penikmat televisi. Sejak awal kemunculan stasiun televisi dan mulai meredupnya film-film layar lebar Indonesia, sinetron langsung mendapatkan tempat utama di hati para pemirsa televisi khususnya remaja dan ibu-ibu. Bahkan belakangan sinetron dengan tema cinta remaja menjadi primadona tayangan televisi swasta di negeri ini. Sinetron dengan tema remaja ini bukan sekedar tontonan dan hiburan belaka tapi lebih dari itu tayangan ini telah memproduksi manusia-manusia dengan topeng kebaikan, kecantikan, dan ketampanan yang menjadi idola diseantero nusantara. Sinetron dengan sendirinya telah memberikan batasan sekaligus pencitraan, seperti bagaimana seharusnya seorang remaja berpenampilan, berprilaku, bertindak, berfikir, dan memilih teman dekat. Sinetron seolah memberikan legitimasi baru terhadap remaja untuk membangkang kepada orang tuanya, melawan gurunya, melanggar norma-norma agama dan budaya masyarakat lingkungannya, singkatnya sinteron memberikan pesan bahwa hidup adalah kebebasan tanpa aturan yang harus dinikmati sesuai dengan selera masing-masing.

Pada sisi yang berbeda kita merasakan tindakan kekerasan dan perilaku tidak sehat lainnya menjadi begitu dekat dengan keseharian masyarakat kita sebagai penonton televisi. Seiring dengan berjalannya waktu, seseorang yang tiap harinya menonton adegan demi adegan dalam sinetron yang mempertontonkan berbagai pelanggaran terhadap moralitas yang melewati batas agama dan budaya masyarakat menganggap semuanya adalah hal yang biasa saja dan lumrah terjadi dalam dunia realitas. Maka jangan pernah heran ketika kita mendapati dalam lingkungan sosial kita ada orang tua yang tidak lagi peduli dengan akivitas anak-anaknya, orang tua yang melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya atau sebaliknya, pemerkosaan oleh guru terhadap siswanya,  pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, dan berbagai macam tindakan kekerasan dan amoral lainnya sudah terasa biasa layaknya tayangan sinetron yang tiap hari menghiasi layar kaca kita.

televisi, rating, dan kapitalisme
televisi memiliki peran yang signifikan didalam membangun opini, persepsi bahkan membentuk pola pikir sesorang dalam menghadapi berbagai hal. Hanya saja dalam konteks ke-Indonesiaan, stasiun televisi belum mampu menempatkan diri secara proporsional dan berimbang sebagai media yang memiliki peran tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan informasi dan tayangan yang mendidik yang mampu mengarahkan dan membentuk pola pikir yang sehat sekaligus membangun daya kritis terhadap berbagai persoalan, sosial, ekonomi, budaya, politik, agama, dan lain-lain. Rating atau pemeringkatan acara televisi berdasarkan jumlah orang yang menontonnya adalah satu-satunya tolak ukur bagi stasiun televisi untuk menayangkan program acaranya. Rating ini pun tidak jelas, menurut Efendi Gazali, rating pertelevisin Indonesia tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya karena tidak pernah diaudit oleh lembaga audit independent, bahkan sebuah tayangan televisi bisa menjadi berbeda ratingnya setelah di survey dua lembaga survey yang berbeda. Dilain sisi, iklan, yang notabenenya adalah nafas dan penggerak stasiun televisi juga hanya bersedia untuk mensponsori program-program televisi yang penontonnya paling banyak atau ratingnya paling tinggi.

Inilah sebuah rekayasa yang diciptakan oleh kapitalis-kapitalis global untuk menguasai perekonomian dunia dengan jalan menggenggam negara-negara dunia ke tiga melalui hegemoni budaya. Masyarakat dunia ketiga yang masih menjunjung nilai-nilai moral agama dan norma masyarakat harus berlawanan dengan kapitalisme global yang menguasai hampir keseluruhan denyut perekonomian dunia. Hampir tidak ada, barang yang kita konsumsi hari ini yang bukan produk kapitalisme yang menciptakan ketergantungan dan menjadikan masyarakat dunia ke 3 tiga sebagai orang-orang manja dan malas.  Program-program televisi yang menempati posisi rating tertinggi kebanyakan adalah tayangan dengan karakter budaya popular yang membentuk masyarakat dengan pola pikir instant, pragmatis, hedonis, dan materialis.

Membangun kesadaran masyarakat
Walaupun sebagian masyarakat sudah mulai bersuara kritis terhadap berbagai tayangan yang disiarkan oleh stasiun televisi, tapi  hal ini masih sebatas tayangan-tayangan yang memperlihatkan efek negatif langsung di tengah-tengah masyarakat. Misalnya saja tayangan yang banyak mengandung unsur-unsur kekerasan (violence) maupun tayangan yang melakukan ekspolitasi terhadap fisik perempuan (pornoaksi & pornografi). Protes dan suara kritis ini juga sifatnya sangat temporal ketika tidak ada tanggapan dari pihak stasiun televisi dan pemerintah, maka gerakan perlawanan masyarakat ini cenderung melemah dan kemudian hilang. Yang lebih parah lagi, hilangnya suara-suara protes ini malah menjadikan masyarakat menjadi terbiasa dengan tayangan-tayangan tersebut dan lambat laun menerimanya sebagai hal yang biasa dan layak untuk menjadi tontonan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya di masa akan datang, menjadi tugas bersama bagi kita semua, seluruh kelompok-kelompok sosial untuk membangun kesadaran masyarakat akan bahaya yang senantiasa mengancam masa depan bangsa kita yang sekarang ini banyak datang melalui siaran dan tayangan tidak mendidik namun menarik minat masyarakat hari ini khususnya remaja.

Program maupun tayangan yang disiarkan stasiun televisi, khususnya bagi remaja dan anak-anak tidak hanya sekedar memperlihatkan adegan kekerasan, amoral, maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya. Namun lebih dari itu, acara-acara yang ada di televisi adalah proses intervensi budaya asing secara hegemonik dan tersistematis yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis dunia. Budaya tersebut antara lain adalah budaya – budaya instant, pragmatis, materialis, dan. hedonis. Intervensi budaya tersebut akan menyingkirkan peran norma-norma agama dan budaya-budaya lokal sebagai sebuah nilai luhur yang membentuk karakter dan identitas masyarakat Indonesia kemudian digantikan oleh budaya-budaya asing yang mengubah pola pikir, kebiasaan dan cara pandang masyarakat Indonesia khususnya remaja tentang kebahagiaan, kesuksesan, yang baik dan yang buruk dengan ukuran-ukuran yang mereka ciptakan sendiri sehingga dengan leluasa menguasai dan melakukan ekspolitasi terhadap bangsa kita.

bahkan menurut Jumari s.p televisi telah menempatkan dirinya dalam dua wajah kontroversi, sebagai media hiburan dan informasi sekaligus media menyesatkan. Selain mampu menyatukan, juga telah mengisolasikan individu dalam dunia tanpa manusia. Muatan televisi, bagaikan madu dan racun yang terus menerus dinikmati masyarakat. Sayangnya, madu televisi terlalu sedikit jika dibandingkan racunnya yang sangat mematikan, terutama pada individu yang memberi ruang luas.

Cobalah kita menelaah dan mencermati lebih jauh lagi apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh para juara rating tersebut. Acara gosip atau infotainment yang dalam bahasa agamanya adalah ghibah, secara nyata adalah sebuah program televisi yang sangat menyesatkan. Masyarakat ditipu untuk membongkar kejelekan orang lain didepan umum, membuka aib mereka, menyebar fitnah. Adakah diantara kita yang ingin kejelekan, aib, pelanggaran yang kita telah sesali dan bahkan mungkin malu mengakuinya malah dibuka begitu transparan di depan publik. Sangat nyata pelanggaran yang terjadi depan mata kita. Kasus tayangan infotainment diatas hanyalah contoh kecil, belum termasuk lagi tayangan dan program televisi lainnya, seperti sinetron remaja, sinetron religius, kontes kecantikan, kontes idola musik dan lain sebagainya. Semuanya memiliki muatan negatif yang sama dan hanya mengarahkan masyarakat kita sebagai masyarakat instant yang tidak lagi menghargai proses, menjadikan materi sebagai satu-satunya ukuran kesuksesan hidup, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sesaat sehingga lahirlah manusia-manusia Indonesia dengan mental yang lemah, bahkan untuk membantu dirinya sendiri ia sudah tidak mampu. 

Sebelum penyakit bangsa ini semakin parah dan akut, saatnya bagi kita untuk bangkit dan melawan, perlawanan ini sederhana ; jangan menonton adalah perlawanan yang paling mudah dan paling murah.


yusran

Comments