Dewasa ini perkembangan teknologi pertanian dapat dikatakan mengalami peningkatan yang pesat, baik itu dari aspek budidaya maupun aspek input lainnya. Terkhusus untuk perkebunan kakao dari segi budidaya telah mengalami beberapa kali pembaruan yang terakhir disebut dengan Good Agriculture Practice atau budidaya perkebunan terbaik, yang juga didukung oleh bahan tanam klonal yang masing-masing memiliki keunggulannya sendiri kemudian dari aspek bahan input khususnya pupuk dan pestisida. Pesatnya perkembangan ilmu budidaya kakao diikuti dengan tingkat serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi, sehingga penggunaan bahan kimia khususnya insektisida dan fungisida pun meningkat tajam.
Organik vs kimia ; perspektif sertifikasi
Peningkatan aplikasi bahan kimia khususnya pestisida pada tanaman kakao, mendorong konsumen kakao dunia, menuntut adanya penggunaan bahan kimia yang terkontrol khusunya ditingkat petani, bersamaan dengan itu disisi lain kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan pembukaan lahan kakao dengan melakukan penebangan liar pada kawasan hutan lindung akhirnya menggerakkan lembaga pemerhati lingkungan, lembaga pertanian dunia (FAO) lembaga kesehatan dunia (WHO) yang berada dibawah payung PBB mendorong lahirnya program sertifikasi biji kakao. Saat ini program sertifikasi kakao telah berlangsung secara global, seluruh stake holder khususnya perusahaan pengolahan biji kakao, eksportir, NGO telah dilibatkan secara penuh untuk melakukan pendampingan ditingkat petani terkait program sertifikasi kakao yang diarahkan pada, budidaya kakao yang ramah lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem, peningkatan produksi, peningkatan kesejahteraan petani, dengan memberikan premi sertifikasi untuk kebun kakao petani yang telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi dunia seperti Rainforest Alliance, UTZ Certified dan Fair Trade. Selain itu beberapa pihak juga memberikan program tambahan, seperti perbaikan asupan gizi keluarga petani dan pengelolaan keuangan keluarga petani, yang saat ini dilakukan oleh swisscontact, NGO asal Swiss bekerjasama dengan stake holder dibidang kakao lainnya. Upaya penerapan budidaya kakao yang ramah lingkungan pun semakin gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya penggunaan input bahan kimia khususnya pestisida. WHO sendiri sejak beberapa tahun yang lalu telah merilis beberapa jenis bahan kimia yang dianggap berbahaya dan tidak bisa lagi digunakan dilahan pertanian khususnya dalam pembahasan ini adalah lahan kakao. Hal ini juga diikuti oleh pemerintah Indonesia, khususnya kementrian pertanian yang juga telah menerbitkan rilis yang sama.
Penerapan Budidaya Kakao Organik
Budidaya pertanian yang ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan pertanian organik terus dikembangkan, baik itu oleh pihak swasta, pemerintah dan stake holder lainnya. Saat ini pertanian organik untuk sektor perkebunan kakao persentasenya terhitung masih cukup rendah, mengingat budidaya kakao yang lebih kompleks dengan intensitas serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi membuat penerapan budidaya organik ditingkat petani belum mendapatkan respon yang cukup baik.
Berdasarkan pengalaman penulis yang beberapa tahun terakhir berkecimpung dibidang pendampingan petani kakao, paling tidak upaya mendorong budidaya kakao organik ini sebaiknya dilakukan dengan mengangkat dan memperkenalkan pengalaman petani kakao yang telah menerapkannya kepada petani lainnya yang sekaligus hal ini bisa menjadi role model untuk program budidaya kakao organik secara menyeluruh.
Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk mengangkat sepotong cerita dari seorang petani kakao yang telah menerapkan budidaya kakao organik setahun terakhir, meskipun belum mampu dilakukannya secara optimal tapi paling tidak petani tersebut telah memulai dan terus meningkatkan penerapannya secara bertahap. Petani tersebut juga merupakan petani kakao yang telah penulis dampingi sekitar 2 tahun terakhir.
Syarifuddin, petani asal desa Toloe Ponrewaru, kec Wolo kab Kolaka, provinsi Sulawesi Tenggara. Pak Syarifuddin memiliki lahan kebun kakao dengan luas sekitar 2 Ha yang berada di dua tempat dan kedua-duanya berada di wilayah pegunungan atau dataran miring. Sekitar 1 tahun yang lalu pak syarifuddin mulai mencanangkan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia khususnya pestisida. Hal ini dilakukannya dengan cara menerapkan praktek perkebunan yang baik, antara lain pemangkasan secara teratur sesuai kondisi dan umur tanaman, sanitasi kulit kakao hasil panen dan buah yang terserang hama dan penyakit, dan pemupukan yang berimbang. Kegiatan pemangkasan, kemudian sanitasi dengan membuat rorak yang disebar diseluruh areal kebun dan pemupukan secara berimbang sesuai kebutuhan tanaman yang dilakukannya terbukti mampu mengendalikan dan menurunkan tingkat serangan hama dan penyakit, sehingga penggunaan pestisida khususnya fungisida, insektisida dan herbisida juga berkurang. Berdasarkan catatan penggunaan bahan kimia dalam 1 tahun terakhir oleh pak syarifuddin, insektisida merk Alika sebanyak 150 ml dan belum ada penggunaan fungisida.
Selain itu, pak syarifuddin juga melakukan upaya-upaya konservasi tanah, antara lain ; dengan pembuatan rorak yang telah disebutkan sebelumnya, kemudian penanaman pohon pelindung, menggunakan effective mikroorganisme yang pengaplikasiannya dengan metode disemprotkan ke tanah dan juga ke tanaman karena bisa berfungsi sebagai pupuk organik dan diaplikasikan juga pada sisa kulit dan buah kakao yang terserang HPT kakao untuk membantu proses penguraian dan pelapukannya. Penggunaan effective mikroorganisme ini secara nyata memperbaiki kondisi tanah dilahan pak syarifuddin, hal ini diterlihat dari segi tekstur tanah yang lebih baik, perkembangan organisme didalam tanah yang jumlahnya meningkat, perkembangan jamur phytoptora palmivora yang dapat dikendalikan, hal ini dibuktikan dengan rendahnya serangan busuk buah dan kanker batang atau dapat dikatakan hampir tidak ada buah yang terserang penyakit busuh buah.
Budidaya kakao organik disertai dengan penerapan GAP (praktek perkebunan terbaik) yang sesuai dengan standar merupakan kombinasi yang sangat baik, bukan hanya mampu menghasilkan biji kakao dengan kadar kandungan bahan kimia rendah tapi disi lain juga mampu meningkatkan produktivitas petani seiring dengan menurunnya tingkat serangan hama dan penyakit.
Penerapan budidaya kakao organik ini meskipun belum sepenuhnya namun ternyata tidak menurunkan produksi seperti pandangan yang terbentuk ditingkat petani selama ini, bahkan mampu membantu mengurangi pengeluaran petani untuk biaya berkebun kakao. Sedangkan dari segi produksi, pak Syarifuddin dalam jangka waktu 7 bulan dengan lahan seluas 1 Ha dan jumlah populasi tanaman kakao produktif sebanyak 612 pohon telah menghasilkan 699,5 kg biji kering atau sekitar 2.1 ton biji basah sepanjang tahun 2015.
Apa yang telah dilakukan oleh petani, tentu patut untuk dicermati dan dipelajari, bahwa penerapan budidaya kakao organik harusnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan tingkat kemampuan petani dan sesuai dengan pilihan-pilihan mereka. Awal dari penerapan budidaya organik ini, lahir karena pendamping memberikan alternatif solusi bagi petani yang berkeinginan mengurangi penggunaan bahan kimia namun tetap bisa mengendalikan serangan hama dan penyakit sekaligus tidak kehilangan produksi kakao itu sendiri. Secara khusus, aplikasi effective mikroorganisme dan pembuatan rorak mampu berperan dalam kegiatan konservasi tanah, menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman, menekan perkembangan jamur Phytoptora Palmivora yang merupakan jamur penyebab penyakit busuk buah dan kanker batang. Kedua hal tersebut secara signifikan memberikan pengaruh yang sangat besar bukan hanya terhadap upaya perbaikan atau konservasi tanah tapi juga terhadap budidaya kakao secara keseluruhan.
Dalam upaya untuk meningkatkan penerapan budidaya kakao organik ini, petani bersama pendamping telah merencanakan untuk melakukan uji coba penggunaan bahan alam sebagai pengganti pupuk kimia, dalam hal ini petani disarankan menggunakan bahan sabuk kelapa sebagai sumber unsur K, daun gamal sebagai sumber unsur N, dan batang pisang sebagai sumber unsur P. Tentu harapannya, aplikasi bahan alam sebagai pengganti pupuk kimia untuk menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman mampu memberikan hasil yang memuaskan seperti penerapan atau aplikasi rorak dan effective mikroorganisme yang sudah dilakukan setahun yang lalu.
Semoga, sepotong cerita ini bisa menginspirasi kita semua khususnya para stake holder disektor kakao agar mampu merumuskan program budidaya kakao organik ini dengan pendekatan yang berorientasi pada hasil nyata dan efektif bukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kwantitas atau terfokus pada target jumlah petani yang cenderung hanya menghabiskan anggaran tapi tidak mampu memberikan hasil yang optimal.
Comments
Post a Comment