Tanaman kakao merupakan salah satu komoditi ekspor yang tergolong primadona, meskipun tingkat konsumsi dalam negeri masih cukup rendah namun jumlah biji kakao yang di ekspor tergolong tinggi bahkan indonesia saat ini berada pada peringkat ke 3 penghasil kakao terbesar dunia, setidaknya indonesia menghasilkan sekitar 580.000 ton kakao dan mengekspor 380.000 ton setiap tahunnya. Potensi dan prospek tanaman kakao indonesia sangat besar mengingat kesesuaian syarat tumbuh tanaman kakao dengan kondisi tanah dan iklim indonesia sangat sesuai. Potensi besar ini pula yang mendorong investor tidak hanya berinvestasi di indonesia tapi juga membangun kemitraan dengan pemerintah serta NGO mengimplementasikan berbagai macam program untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas kakao nasional.
Tingginya permintaan biji kakao beberapa tahun terakhir diikuti juga dengan semakin derasnya issu pemanasan global, kelestarian lingkungan dan permintaan bahan makanan yang sehat yang dihasilkan dari budidaya pertanian organik. Food and Agriculture Organization (FAO), Environmental Protection Agency (EPA) dan Uni Eropa telah menetapkan aturan penggunaan bahan kimia pertanian, terkait batas residu pestisida dan bahan aktif yang terlarang dan berlaku secara global terhadap produk pertanian yang diekspor, baik itu yang dihasilkan dari perkebunan rakyat ataupun perkebunan industri. Permintaan biji kakao dengan tingkat kontaminasi bahan kimia rendah atau terkontrol oleh pasar global, mendorong lahirnya sertifikasi produk pertanian/perkebunan, yang dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan sertifikasi kakao berkelanjutan.
Mengutip dari Buku Petunjuk peraturan, standar dan sertifikasi untuk ekspor produk pertanian (FAO) 2007, Sertifikasi berarti verifikasi oleh pihak ketiga atau lembaga sertifikasi independen atas permintaan konsumen terhadap produsen untuk memastikan proses produksi dari produk tertentu yang dihasilkan mematuhi standar tertentu sedangkan sertifikat berarti jaminan tertulis yang diberikan oleh sebuah lembaga sertifikasi independen yang menyatakan bahwa suatu proses produksi telah mematuhi beberapa standar tertentu. Berbagai standar ini antara lain terfokus pada masalah lingkungan (konservasi tanah, perlindungan air, penggunaan pestisida dan pengelolaan limbah), sosial (perlindungan tenaga kerja, pekerja anak, kesehatan dan keselamatan kerja) dan keamanan pangan.
Istilah sertifikasi kakao berkelanjutan dikalangan petani Indonesia masih sebatas pengelolaan kebun secara organik, padahal keberlanjutan itu bukan hanya penggunaan input organik tetapi adalah upaya sistematis dan terencana bagaimana pengelolaan kebun bukan hanya bertujuan meningkatkan produksi tapi adalah satu kesatuan tujuan untuk peningkatan produksi dan mutu biji kakao yang berkorelasi dengan peningkatan taraf hidup petani dan keluarganya, menjaga kelestarian alam dan mengurangi biaya produksi, melalui penerapan praktik pertanian terbaik termasuk analisis usaha tani kakao dan penerapan praktik lingkungan terbaik. Sertifikasi kakao berkelanjutan juga mensyaratkan untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM, perlindungan tenaga kerja, perlindungan pekerja dibawah umur dan kebebasan berserikat bagi pekerja di sektor kakao.
Penerapan praktik perkebunan terbaik didalam sertifikasi merupakan paket pengelolaan kebun kakao yang ideal bagi tidak hanya bagi petani tapi bagi masa depan pertanian dan dunia secara menyeluruh. Pengelolaan kebun kakao yang dikenal dengan Praktik Perkebunan Terbaik, mensyaratkan petani untuk menerapkan praktik pemupukan, pemangkasan, panen sering dan sanitasi untuk mengendalikan hama penyakit tanaman kakao sekaligus meningkatkan kwantitas maupun kwalitas produksi petani. Penggunaan bahan kimia khususnya pupuk dan pestisida, direkomendasikan dengan ketentuan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan atau dengan kata lain praktiknya tepat dosis, tepat cara, tepat waktu dan tepat sasaran sehingga tidak memberikan dampak negatif terhadap kesehatan petani dan tidak mencemari lingkungan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam rangka menekan penggunaan bahan kimia berlebihan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, petani diajak untuk bertani/berkebun secara organik. Pertanian organik tidak hanya mengindikasikan peningkatan penggunaan input organik, berupa pupuk organik dan pestisida nabati namun lebih dari pada itu lebih kepada teknik pengelolaan kebun yang memanfaatkan bahan alam sebagai sumber hara dan pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao dengan teknik kultur jaringan. Pembuatan rorak dengan memanfaatkan sisa-sisa pemangkasan dan kulit buah bisa dijadikan sebagai pupuk sekaligus untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit tanaman kakao asalkan dilakukan dengan tepat. Upaya pengendalian HPT kakao juga dapat dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman yang beraroma menyengat seperti lengkuas, serrei, jahe dan lain-lain sedangkan untuk meningkatkan kesuburan tanah, menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman dan pengendalian berbagai jenis penyakit tanaman kakao, petani bisa memanfaat mikroorganisme Lokal (MOL) sebagai pengurai dan aktivator mikroba di dalam tanah. Selain metode organik tersebut, metode agroforestry juga menjadi pilihan yang bijak bagi petani, dengan menanam pohon pelindung yang beragam jenisnya, akan memberi manfaat untuk pulihnya kembali habitat bagi musuh alami hama tanaman kakao dan menjadi filter bagi penyebaran virus sumber penyakit tanaman kakao yang terbawa oleh angin dan mengurangi paparan sinar matahari langsung, yang bila tidak diatur maka berefek negatif bagi tanaman kakao petani. Metode ini tidak hanya meminimalisir penggunaan pestisida kimia tapi pada saat yang bersamaan juga bisa mengurangi biaya produksi petani. Tentu hal ini sejalan dengan upaya peningkatan taraf hidup petani melalui paket peningkatan produksi dengan biaya produksi rendah. Penerapan praktek perkebunan diatas juga sekaligus mendukung upaya menjaga kelestarian lingkungan secara menyeluruh.
Pada dasarnya banyak hal yang dapat diterapkan yang merupakan bagian dari praktik perkebunan terbaik. Pada poin ini, sertifikasi memegang peranan penting karena berhasil "mengintervensi" praktek budidaya petani kakao, hanya saja sangat disayangkan karena pemegang hak sertifikat kakao berkelanjutan di indonesia masih dipegang oleh perusahaan atau importir yang memfasilitasi proses kegiatan sertifikasi kebun kakao milik petani. Hal ini tentu saja belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan kita semua untuk meningkatkan taraf hidup petani kakao, mengingat petani adalah pengelola dan pemilik kebun kakao sudah sepatutnya pula menjadi pemegang hak sertifikat kakao sertifikasi.
Situasi diatas harus kembali dicermati bersama, lemahnya sosialisasi dan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesadaran petani ataupun mengambil peran signifikan untuk meningkatkan posisi tawar petani membuat petani kakao kehilangan potensi besarnya untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Sertifikasi kakao berkelanjutan memiliki manfaat yang sangat signifikan tidak hanya bagi petani tapi juga bagi pertumbuhan ekonomi nasional khususnya sektor perkebunan. Sertifikasi biji kakao berkelanjutan, sebagaimana dikutip dari confectionerynews.com, petani idealnya mendapatkan insentif US $ 150 – 200 Metrik Ton, untuk hasil kebunnya yang telah bersertifikat. Atau dengan asumsi kurs Rp. 10.000,-/ US $ 1 petani bisa mendapatkan Rp. 1.500 sd 2.000 per kg. Ini adalah angka yang layak yang akan petani gunakan sebagai investasi untuk mempertahankan kondisi kebun agar tetap baik. Di indonesia, karena biaya sertifikasi ditanggung oleh perusahaan, maka sertifikat kakao berkelanjutan dipegang pihak perusahaan. Namun ini karena perusahaan mengindahkan biaya tenaga kerja dan sarana yang dikeluarkan petani. Dengan asumsi upah kerja per bulan 1,2 juta, dimana proses persiapan kebun untuk sertifikasi perlu waktu 1 tahun maka biaya tenaga kerja adalah Rp. 144 juta. Padahal biaya sertifkasi kebun tidak mencapai angka itu (situs kakao-indonesia). Sekali lagi peran pemerintah sangat signifikan dalam upaya meningkatkan posisi tawar petani sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap petani kakao. Hasil produksi kebun kakao rakyat telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini, baik itu dari segi kuantitas biji kakao yang diekspor setiao tahunnya maupun dari segi investasi asing khususnya eksportir kakao di berbagai daerah di Indonesia.
Comments
Post a Comment